Jumat, 04 September 2009

Menjelajah Masa Lalu Bersama Komunitas Djadoel

Kemarin aku menemukan selembar koran Kompas Minggu yang ada liputan menariknya : Komunitas Djadoel. Wah kreatip istilahnya ya ? Dulu paling sering kita dengar istilah : tempo doeloe, sekarang ada djadoel, atau jadul, atau zadoel wah, wah, wah.

Kemarin aku menemui bibiku dan menanyakan perihal barang-barang peninggalan pamanku almarhum, ternyata .... sudah dibuang, katanya. Aku merasa sayang sekali, karena ... sebenarnya bisa dijual. "Apa iya ?" tanya bibi hampir tidak percaya. Aku ingat pamanku almarhum itu kolektor benda-benda lama, seperti perangko, uang, majalah, buku, foto dll. Kini musnah sudah barang-barang itu menjadi penghuni TPA (Tempat Pembuangan Akhir sampah), atau sudah ditemukan pemulung ... "Lha daripada jadi rumah tikus" - kata bibiku.

Padahal, benda itu bisa berarti ”sampah” buat orang lain.

       Ya, benar, bagi yang tidak tahu dan tidak suka, buku-buku dan surat-surat lama pasti tidak disukai. Biasanya tikus dan kecoa sudah menghancurkannya dilemari penyimpanan kita. Akhirnya karena sudah sobek-sobek dan bau kencing tikus, ya dibuang saja ..

Agar kita bisa menghargai benda-benda lama, marilah kita simak reportase wartawan Kompas berikut ini :

Menjelajah Masa Lalu Bersama Komunitas Djadoel
Minggu, 9 Agustus 2009 | 03:07 WIB

Susi Ivvaty

Jejak sejarah selalu menarik untuk kembali ditelusuri, salah satunya lewat benda-benda yang hadir pada zamannya. Bagi para penghobi benda-benda lawas yang tergabung dalam Komunitas Djadoel, menemukan benda yang unik, langka, dan kuno rasanya begitu menggairahkan. Padahal, benda itu bisa berarti ”sampah” buat orang lain.

Kekunoan benda dikumpulkan dan dikoleksi anggota Komunitas Djadoel ini ada batasannya. ”Bukan benda yang sangat kuno, seperti keris atau arca. Punya kami adalah benda yang unik dan lucu, yang fun-fun saja,” tutur Komendan Komunitas Djadoel Daniel Supriyono.

Benda-benda yang Daniel maksud ini, misalnya kalender, iklan-iklan di majalah, piringan hitam, mainan anak, jam dinding, jam weker, hingga perabot besar, misalnya lemari atau meja antik. Hampir semuanya adalah produk zadul, mulai tahun 1920-an.

Jika ada pameran, benda-benda zadul yang memenuhi rumah itu biasanya lantas diboyong dan digelar. Sabtu (8/8) kemarin dan Minggu ini, komunitas ini ambil bagian dalam acara Pasar NOVA 2009 di Plaza Tenggara Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.

Bisa ditebak, berbagai benda unik dan langka dipamerkan. Ada yang berukuran kecil saja, seperti mainan anak atau botol sirup bertutup keramik. Ada juga lemari kayu besar. ”Itu saya angkut pakai mobil pikap,” kata Anthon Novianto, pencinta barang tua yang sehari-hari bekerja di lingkungan Departemen Keuangan ini sambil menunjuk dua lemari miliknya.

Persamaan pandangan

Bagaimana para penggemar barang kuno ini bisa bertemu? ”Dari bazaar ke bazaar, pameran ke pameran, juga festival ke festival,” ujar Daniel.

Para penggemar barang zadul yang berusia antara 30-57 ini bisa bersatu karena persamaan pandangan. ”Ngumpulin begini juga bisa untuk mengedukasi anak-anak agar mengenal kalau dulu pernah ada benda seperti ini,” kata Andre Pamoengkas, yang dikenal sebagai kolektor spesialis rokok dan mengoleksi ratusan merek rokok ini.

Bagi Daniel, barang-barang ”sampah” ini adalah bagian dari sejarah. ”Jika baca buku sejarah, terutama yang diajarkan di sekolah, isinya kan cuma sejarah perjuangan. Hal-hal seperti ini tidak terungkap, misalnya bagaimana orang dulu beriklan atau bagaimana bentuk KTP tahun 1910 dan perubahannya sampai sekarang,” tuturnya.

Soal tahun produksi, sejumlah barang memang kadang susah dilacak. Mainan anak, misalnya, tidak tercatat tanggal produksinya. Namun, untuk kartu pos atau iklan di di majalah, tahun diterbitkan tentu tertulis gamblang.

Selain untuk ajang penularan pendidikan dan pengetahuan, komunitas juga sebuah ruang untuk gaul, barter barang, hingga kampanye penyelamatan lingkungan. ”Kami ini merawat barang bekas yang sudah dibuah lho, he-he-he,” sambung Daniel.

Spesialis

Anggota komunitas ini biasanya memiliki satu barang koleksi yang dominan dan oleh karena itu lantas disebut spesialis barang tertentu. Ferry Van Weker, misalnya. Sesuai namanya, ia adalah spesialis jam weker. ”Koleksi weker saya kira-kira 400 biji,” ujar desainer interior dan lanskap ini. Ferry juga mengoleksi mainan anak dan perabot rumah tangga, tetapi jumlahnya lebih sedikit.

Kegilaan Ferry akan jam weker bermula ketika melihat sebuah jam weker unik di pasar loak di Jakarta Selatan. ”Eh, kok lucu dan unik,” pikirnya waktu itu. Setiap kali mampir ke pasar klitikan, matanya akan mencari jam weker. Ketemu lagi yang cocok, begitu seterusnya hingga terkumpul empat lemari.

Anggota komunitas yang lain, Muchlis Amir (57), dijuluki spesialis kalender. Maka, jangan heran kalau ia mengoleksi ratusan lembar kalender mulai tahun 1940-an. ”Kalau yang terjual, saya dapat yang lain, jadi koleksi saya selalu banyak,” katanya.

Kata Muchlis, kalender ini bisa membantu orang mengingat kembali tanggal lahirnya atau memperbaiki yang salah. Kok? ”Begitulah. Orangtua biasanya cuma tahu hari lahir, tapi gak ingat tanggal. Ada yang datang ke saya yang mencocok-cocokkan, akhirnya ketemu tanggalnya,” paparnya.

Bisa menjadi kolektor kalender, kata Muchlis, bermula dari kejadian remeh. Ia sedang membuka album foto istrinya pada tahun 1980-an, ia melihat kalender tanggal kelahiran istrinya serta orangtuanya. ”Saya langsung berpikir, ini unik dan bisa dikembangkan. Saya pikir, belum ada kolektor kalender,” ujar Muchlis, yang sejak itu lantas berburu kalender zadul.

Spesialis yang lain, Ridwan AK, yang karyawan sebuah bank asing itu, adalah pengoleksi buku dan piringan hitam. Namun, ia juga memiliki koleksi lain, seperti perabot zadul dan telepon zadul.

Begitulah anggota komunitas ini saling berinteraksi, benda zadul bisa jadi media penyambung kekeluargaan. Hidup zadul!

Dari : cetak.kompas.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Link

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...